Dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia
terutama sekarang yang menitik-beratkan pada pembangunan dalam bidang Ekonomi,
hukum bangunan mempunyai fungsi penting dalam menunjang kemajuan Ekonomi.
Postingan ini memaparakan “hukum Bangunan
atau Konstruksi di Indonesia”. Dengan mengerti Hukum akan memudahkan kita untuk
menjalankan mandat dalam dunia konstruksi, di lain hal tulisan ini untuk
mengaktifkan atau mengingatkan kembali peraturan yang harus dipatuhi sebagai
pelaku usaha kontruksi.
Pengertian Hukum Konstruksi
Hukum bangunan/konstruksi adalah semua
peraturan yang bertalian dengan pembangunan bangunan atau kegiatan kostruksi.
Peraturan-peraturan yang dapat digolongkan
dalam hukum bangunan/konstruksi tersebut ada yang terletak dalam bidang hukum
privat dan ada yang terletak dalam hukum publik.
Dari ketentuan-ketentuan hukum privat
tersebut ada ketentuan-ketentuan yang bersifat hukum pelengkap dan ada yang
bersifat hukum pemaksa.
Bagaimana urutannya tentang berlakunya ketentuan-ketentuan yang tergolong hukum bangunan itu, yang mengatur tentang pembangunan bangunan yang harus diperhatikan para pihak dalam mengadakan perjanjian pemborongan bangunan?
Urutan Pertama
Pertama kali mereka harus tunduk pada
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh para pihak sendiri dalam
perjanjian pemborongan.
Urutan Kedua
Memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam peraturan tentang syarat-syarat umum perjanjian, yaitu
ketentuan-ketentuan Administrasi.
Ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat
umum ini hanya berlaku sepanjang para pihak tidak menentukan sendiri. Juga
peraturan tentang pelelangan pemborongan umum dan terbatas.
Baca:
Syarat-syarat umum perjanjian pemborongan
bangunan khususnya mengenai persyaratan umum tentang pekerjaan bangunan ini
terjadinya adalah atas dasar penentuan penguasa.
Kenapa Terjadi atas dasar penguasa?
Karena pekerjaan pembangunan demikian
menyangkut pekerjaan yang berhubungan dengan keselamatan umum dan kesejahteraan
masyarakat, maka perlu ada persyaratan-persyaratan dan ikut campurnya penguasa.
Urutan Ketiga
Ketiga, yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan pemborongan bangunan ialah ketentuan-ketentuan dari K.U.M. Perdata
sendiri yang berlaku sebagai hukum pelengkap.
Pertama ketentuan-ketentuan tentang
perjanjian untuk melakukan pekerjaan pada umumnya. Yaitu ketentuan pasal 1601
b, pasal 1604-1616 KUH Perdata. Namun ketentuan pasal-pasal 1604-1616 tersebut
tidak mengatur tentang hak-hak kewajiban para pihak.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan dalam hukum
tetangga, terutama yang mengatur tentang hak orang lain, yaitu hak para
tetangga yang terkena dengan adanya pembangunan bangunan tersebut.
Juga ketentuan pasal KUH Perdata yang
mengatur tentang tuntutan penggantian kerugian mengenai kerugian yang timbul
akibat dari runtuhnya bangunan.
Di samping itu harus diperhatikan juga
berlakunya peraturan-peraturan khusus yang bersifat hukum publik yang
bersangkutan dengan perjanjian pemborongan bangunan yang diadakan Pemerintah RI
sendiri.
a)
Peraturan Menteri
Muda Pekerjaan Umum dan Tenaga No. l/12/19/1959 tentang "Penertiban Aparat
Pelaksanaan di sektor Partikelir dalam lapangan Pembangunan".
b)
Surat Keputusan
Presedium Kabinet No. 48lU/Kep./2/1967, tanggal 16 Pebruari 1967 tentang
"Perjanjian Pembelian dan Pemborongan Pekerjaan".
c)
Instruksi Presiden
No. 17 tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara ke
dalam tiga bentuk usaha Negara :
-
Perusahaan Jawatan
-
Perusahaan Umum
-
Perusahaan
Perseroan
Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang
bertalian dengan anggaran pembangunan dan cara pelelangan serta pelaksanaan
pemborongan bagi bangunan-bangunan, baik yang menyangkut proyek-proyek Pusat
maupun Daerah Propinsi atau Daerah Tingkat II.
Mengenai proyek-proyek mana yang harus
diborongkan melalui tender, proyek mana yang dapat dilaksanakan secara eigen
beheer, berlakulah ketentuan-ketentuan sebagaimana tercantum dalam:
a) Keputusan Presiden
No. 14 tahun 1979 tanggal 30 Maret 1977 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
b) Instruksi Presiden
No. 2 tahun 1977 tentang Program Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II,
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Negara
Ekonomi, Keuangan dan Industri/Ketua Bapenas, No. 101 tahun 1977, No. 109/KMK/
1977, No. Kep. 801/K/4/1977 tentang Penetapan jumlah dan Pedoman Pelaksanaan
Program Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II tahun 1977/1978.
Peserta Pemborongan Bangunan
Dalam proses pemborongan bangunan kita
mengenal peserta pemborongan bangunan atau kontraktor yang terdiri atas
unsur-unsur:
a)
Pemberi kerja
b)
Perencanaan
c)
Pelaksanaan
Dalam proses pemborongan bangunan,
khususnya pemborongan bangunan pemerintah, Departemen PU memegang fungsi dan
peranan penting dalam kedudukannya selaku unsur ataupun peserta dalam
pembangunan.
Kenapa Pemerintah khususnya Depertemen Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) mempunyai kewenangan penting dalam pembangunan?
Karena untuk proyek pembangunan pemerintah
yang menyangkut pekerjaan umum yang bertalian dengan kesejahteraan, kesehatan
dan keselamatan umum berupa gedung, jalan raya, irigasi, waduk, penyediaan air
minum, jembatan, bendungan dan sebagainya.
Departemen PU senantiasa bertindak selaku pemilik
proyek dalam proses pembangunan tersebut. Kemudian kontraktor/pemborong selaku
pelaksana. karena keahlian tidak dapat dikonsentrir dalam satu tangan maka
kontraktor/pemborong dan pemilik proyek tidak bisa di satu tangankan, Demikian
juga jika unsur perencana.
Kenapa dalam pembangunan tidak boleh disatu tangankan, dengan kata lain harus dengan unsur/indtasi yang terpisah?
Karena akan mempengaruhi pertimbangan dalam
keputusan pemberian pekerjaan.
Dalam rangka pembinaan Hukum Nasional
khususnya dalam bidang Hukum Bangunan ini kiranya telah merupakan kebutuhan
yang mendesak untuk adanya pengaturan yang lebih mantap mengenai persyaratan
wajib daftar, dan izin kerja bagi setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang
jasa konstruksi.
Sehingga perusahaan yang melakukan kegiatan
jasa konstruksi dapat dijamin memenuhi persyaratan keahlian sesuai dengan
bidangnya dan terdaftar.
Kemudian berhak melakukan praktek kegiatan
dalam bidang tersebut. Hal demikian adalah sesuai dengan persyaratan para
dokter, akuntan, notaris yeng berhak melakukan praktek sesuai dengan
keahliannya.
Namun meskipun idealnya menurut teori dan
pengetahuan kewajiban para peserta pembangunan harus ditangani dalam tangan
yang terpisah, dalam praktek masih terdapat perangkapan tugas antara unsur
pemberi tugas dan perencana, antara unsur pengawas dan pelaksana, bahkan masih
ada kemungkinan perangkapan ketiga unsur tersebut dalam satu tangan.
Perangkapan-perangkapan tugas demikian demi
tercapainya nilai pekerjaan yang baik, demi kepentingan keselamatan dan
kesejahteraan masyarakat, seyogyanya dilakukan oleh pelaku-pelaku pembangunan
yang terpisah.
Dari inventarisasi
peraturan-peraturan yang telah ada yaitu:
a)
Peraturan Menteri
Muda Pekerjaan Umum dan Tenaga No. t/12/19/th. 1959.
b)
Surat Keputusan
Presidium Kabinet Ampera No. 48/U/Kep./2/1967.
c) Algemene
Voorwaarden (A.V.). Ketentuan tentang Persyaratan umum dalam pemborongan
bangunan.
Dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas dari
peserta pembangunan tersebut harus dilakukan secara terpisah.
Demikian juga dari ketentuan keputusan
Presiden No. 14 tahun 1979 dan tahuntahun sebelumnya tentang APBN dalam pasal 19
ayat 2 ditentukan bahwa: Pekerjaan perencanaan (design), pengawasan terhadap
pelaksana dan pelaksana pekerjaan sepanjang memungkinkan harus dilakukan oleh
pihak ketiga yang kompeten.
Pelaksana pekerjaan atau kontraktor tidak
dapat merangkap sebagai pengawas terhadap pelaksanaan pekerjaan pemborongannya.
Adapun mengenai hubungan kerja, hak dan
kewajiban para peserta dalam perjanjian pemborongan ditentukan, bahwa yang
merupakan pihak dalam perjanjian ialah si pemberi tugas dan pemborong.
Sedangkan hubungan kerja antara si pemberi
tugas dengan perencana/pengawas ditentukan, bahwa perencana/pengawas bertindak
sebagai wakil dari pemberi tugas dan berkewajiban melakukan pengawasan
pelaksanaan pekerjaan.
Hubungan kerja antara pemberi tugas dan
pengawas tersebut dituangkan dalam perjanjian khusus antara pemberi tugas dan
pengawas.
Untuk pembangunan proyek-proyek besar dimana
dana pembangunannya didasarkan atas bantuan luar negeri, sering terjadi bahwa
unsur perencana/pengawas atas konstruksi dilaksanakan oleh pihak luar negeri
atas dasar kerjasama yang dituangkan dalam perjanjian khusus.
Maka di sini sering terjadi bahwa para
perencana ataupun konsultan tersebut memperlakukan persyaratan-persyaratan
standard sebagaimana berlaku di luar negeri.
Persyaratan
standard demikian yang sesuai dengan standard internasional, pada satu pihak
akan memungkinkan efisiensi kerja dan meningkatkan kecakapan menggunakan
alat-alat modern bagi perusahaan jasa konstruksi, namun pada lain pihak juga
akan menimbulkan persoalan mengenai segi pengawasan.
0 Response to "Pengertian Hukum Konstruksi"
Post a Comment